Senin, 29 Maret 2010

Faktor Penentu Keberhasilan Inovasi Pendidikan


FAKTOR-FAKTOR PENENTU
KEBERHASILAN PROGRAM INOVASI
A. PENDAHULUAN
Inovasi merupalan suatu usaha menemukan benda, ide, kejadian, metode yang diamati sebagai sesuatu yang baru bagi seseorang (kelompok orang) dengan jalan melakukan kegiatan invention dan discovery (ibrahim, 1989:23). Invention adalah penemuan sesuatu yang benar-benar baru artinya hasil karya manuasia. Discovery adalah penemuan sesuatu (benda yang sebenarnya telah ada sebelumnya. Dengan demikian, inovasi dapat diartikan usaha menemukan benda yang baru dengan jalan melakukan kegiatan (usaha) invention dan discovery. Inovasi dapat berupa hasil dari invention atau discovery. Inovasi dilakukan dengan tujuan tertentu atau untuk memecahkan masalah (Subandiyah 1992:80) Proses dan tahapan perubahan itu ada kaitannya dengan masalah pengembangan development), penyebaran (diffusion), diseminasi (dissemination), perencanaan (planning), adopsi (adoption), penerapan (implementation) dan evaluasi (evaluation) (Subandiyah 1992:77).
Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas.
Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.
Nicocolo Marchiavelli mengakatakan: “Tiada pekerjaan yang lebih susah merencanakannya, lebih meragukan akan keberhasilannya, lebih berbahaya dalam mengelolanya, daripada menciptakan suatu pembaharuan. Apabila lawan telah merencanakan untuk menyerang inovator dengan mengerahkan pasukannya sedangkan yang lainnya hanya bertahan dengan kemalasan, maka inovator beserta kelompoknya seperti dalam keadaan terancam. (The Prince (1913) dikutip Rogers, 1983).
Pernyataan Machiavelli tersebut menunjukkan betapa berat tugas inovator dan betapa sukarnya menyebarkan inovasi. Banyak orang mengetahui dan memahami sesuatu yang baru tetapi belum mau menerima apalagi melaksanakannya. Bahkan banyak pula yang menyadari bahwa sesuatu yang bau itu bermanfaat baginya, tetapi belum juga mau menerima dan mau menggunakan atau menerapkannya.
Ternyata memang ada jarak antara mengetahui dan menerapkannya serta menggunakan atau menerapkan ide yang baru tersebut. Maka dalam proses penyebaran inovasi timbul masalah yakni bagaimana cara untuk mempercepat diterimanya suatu inovasi oleh masyarakat (sasaran penyebaran inovasi).
Lembaga pendidikan formal seperti sekolah adalah suatu sub sistem dari sistem sosial. Jika terjadi perubahan dalam sistem sosial, maka lembaga pendidikan formal tersebut juga akan mengalami perubahan maka hasilnya akan berpengaruh terhadap sistem sosial. Oleh karena itu suatu lembaga pendidikan mempunyai beban yang ganda yaitu melestarikan nilai-nilai budaya tradisional dan juga mempersiapkan generasi muda agar dapat menyiapkan diri menghadapi tantangan kemajuan jaman.
Motivasi yang mendorong perlunya diadakan inovasi pendidikan jika dilacak biasanya bersumber pada dua hal, yaitu: (a) kemauan sekolah (lembaga pendidikan) untuk mengadakan respon terhadap tantangan kebutuhan masyarakat, dan (b) adanya usaha untuk menggunakan sekolah (lembaga pendidikan) untuk memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Antara lembaga pendidikan dan sistem sosial terjadi hubungan yang erat dan saling mempengaruhi.
Sejalan dengan hal tersebut penting kiranya menentukan faktor keberhasilan dalam program inovasi, sehingga inovasi dapat berjalan sesuai harapan.
B. Faktor-Faktor Penentu Keberhasilan Program Inovasi
a. Faktor Kegiatan Belajar Mengajar
Yang menjadi kunci keberhasilan dalam pengelolaan kegiatan belajar mengajar ialah kemampuan guru sebagai tenaga profesional. Guru sebagai tenaga yang telah dipandang memiliki keahlian tertentu dalam bidang pendidikan, diserahi tugas dan wewenang untuk mengelola kegiatan belajar mengajar agar dapat mencapai tujuan tertentu, yaitu terjadinya perubahan tingkah laku siswa sesuai dengan tujuan pendidikan nasional dan tujuan institusional yang telah dirumuskan. Tetapi dalam pelaksanaan tugas pengelolaan kegiatan belajar mengajar terdapat beberapa faktor yang menyebabkan orang memendang bahwa pengelolaan kegiatan belajar mengajar adalah kegiatan yang kurang profesional, kurang efektif dan kurang perhatian.
Sebagai alasan orang memandang tugas guru dalam mengajar mengandung banyak kelemahan tersebut antara lain bahwa:
1. Keberhasilan tugas guru dalam mengelola kegiatan belajar mengajar sangat ditentukan oleh hubungan interpersonal antara guru dengan siswa. Dengan demikian maka keberhasilan pelaksanaan tugas tugas tersebut juga sangat ditentukan oleh pribadi guru dan siswa. Dengan kemampuan guru yang sama belum tentu menghasilkan prestasi belajar yang sama jika menghadapi kelas yang berbeda, demikian pula sebaliknya dengan kondisi kelas yang sama diajar oleh guru yang berbeda belum tentu dapat menghasilkan prestasi belajar yang sama, meskipun para guru tersebut semuanya telah memenuhi persyaratan sebagai guru profesional.
2. Kegiatan belajar di kelas merupakan kegiatan yang terisolasi. Pada waktu guru mengajar dia tidak mendapatkan balikan dari teman sejawatnya. Kegiatan guru di kelas merupakan kegiatan yang terisolasi dari kegiatan kelompok. Apa yang dilakukan guru di kelas tanpa diketahui oleh guru yang lain. Dengan demikian maka sukar untuk mendapatkan kritik untuk pengembangan profesinya. Ia menganggap bahwa yang dilakukan sudah merupakan cara yang terbaik.
3. Berkaitan dengan kenyataan di atas tersebut, maka sangat minimal bantuan teman sejawat untuk memberikan bantuan saran atau kritik guna peningkatan kemampuan profesionalnya. Apa yang dilakukan guru di kelas seolah-olah sudah merupakan hak mutlak tanggungjawabnyah orang lain tidak boleh ikut campur tangan. Padahal apa yang dilakukan mungkin masih banyak kekurangannya.
4. Belum ada kriteria yang baku tentang bagaimana pengelolaan kegiatan belajar mengajar yang efektif. Dan memang untuk membuat kriteria keefektifan proses belajar mengajar sukar ditentukan karena sangat banyak variabel yang ikut menentukan keberhasilan kegiatan belajar siswa. Usaha untuk membuat kriteria tersebut sudah dilakukan misalnya dengan menggunakan APKG (Alat Penilai Kompetensi Guru).
5. Dalam melaksanakan tugas mengelola kegiatan belajar mengajar, guru menghadapi sejumlah siswa yang berbeda dengan yang lain baik mengenai kondisi fisik, mental intelektual, sifat, minat, dan latar belakang sosial ekonominya. Guru tidak mungkin dapat melayani siswa dengan memperhatikan perbedaan individual satu dengan yang lain, dalam jam-jam pelajaran yang sudah diatur dengan jadual dan dalam waktu yang sangat terbatas.
6. Berdasarkan data adanya perbedaan individual siswa, tentunya lebih tepat jika pengelolaan kegiatan belajar mengajar dilakukan dengan cara yang sangat fleksibel, tetapi kenyataannya justru guru dituntut untuk mencapai perubahan tingkah laku yang sama sesuai dengan ketentuan yang telah dirumuskan. Jadi anak yang berbeda harus diarahkan menjadi sama. Jika guru tidak dapat mengatasi masalah ini dapat menimbulkan anggapan diraguakan kualitas profesionalnya.
7. Guru juga menghadapi tantangan dalam usaha untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya, yaitu tanpa adanya keseimbangan antara kemampuan dan wewenangnya mengatur beban tugas yang harus dilakukan, serta tanpa bantuan dari lembaga dan tanpa adanya insentif yang menunjang kegiatannya. Ada kemauan guru untuk meningkatkan kemampuan profesionalnya, mungkin dengan cara belajar sendiri atau mengikuti kuliah di perguruan tinggi, tetapi tugas yang harus dilakukan masih terasa berat, jumlah muridanya dalam satu kelas 50 orang, masih ditambah tugas administratif, ditambah lagi harus melakukan kegiatan untuk menambah penghasilan karena gaji pas-pasan, dan masih banyak lagi faktor yang lain. Jadi program pertumbuhan jabatan atau peningkatan profesi guru mengalami hambatan.
8. Guru dalam melaksanakan tugas mengelola kegiatan belajar mengajar mengalami kesulitas untuk menentukan pilihan mana yang diutamakan karena adanya berbagai macam tuntutan. Dari satu segi meminta agar guru mengutamakan keterampilan proses belajar, tetapi dari sudut lain dia dituntut harus menyelesaikan sajian materi kurikulum yang harus diselesaikan sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan, karena menjadi bahan ujian negara/nasional. Demikian pula dari satu segi guru dituntut menekankan perubahan tingkah kaku afektif, tetapi dalam evaluasi hasil belajar yang dipakai untuk menentukan kelulusan siswa hanya mengutamakan aspek kognitif. Apa yang harus dipilih guru? Melayani semua tuntutan?
Dari data tersebut menunjukkan bagaimana uniknya kegiatan belajar mengajar, yang memungkinkan timbulnya peluang untuk munculnya pendapat bahwa profesional guru diragukan bahkan ada yang mengatakan bahwa jabatan guru itu “semi porofesional”, karena jika profesional yang penuh tentu akan memberi peluang pada anggota untuk: (a) menguasai kemampuan profesional yang ditunjukkan dalam penampilan, (b) memasuki anggota profesi dan penilaian terhadap penampilan profesinya, diawasi oleh kelompok profesi, (c) ketentuan untuk berbuat profesional ditentukan bersana antar sesama anggota profesi. (Zaltman, Florio, Sikoski, 1977).
Dengan berdasarkan adanya kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan pengelolaan kegiatan belajar mengajar tersebut maka dapat merupakan sumber motivasi perlunya ada inovasi pendidikan untuk mengatasi kelemahan tersebut, atau bahkan dari sudut pandang yang lain dapat juga dikatakan bahwa dengan adanya kelemahan-kelamahan itu maka sukar penerapan inovasi pendidikan secara efektif.
b. Faktor Internal dan Eksternal
Satu keunikan dari sistem pendidikan ialah baik pelaksana maupun klien (yang dilayani) adalah kelompok manusia. Perencana inovasi pendidikan harus memperhatikan mana kelompok yang mempengaruhi dan kelompok yang dipengaruhi oleh sekolah (sistem pendidikan).
Faktor internal yang mempengaruhi pelaksanaan sistem pendidikan dan dengan sendirinya juga inovasi pendidikan ialah siswa. Siswa sangat besar pengaruhnya terhadap proses inovasi karena tujuan pendidikan untuk mencapai perubahan tingkah laku siswa. Jadi siswa sebagai pusat perhatian dan bahan pertimbangan dalam melaksanakan berbagai macam kebijakan pendidikan. Adapun yang termasuk faktor internal dan eksternal adalah sebagai berikut:
1. Guru
Guru sebagai ujung tombak dalam pelaksanaan pendidikan merupakan pihak yang sangat berpengaruh dalam proses belajar mengajar. Kepiawaian dan kewibawaan guru sangat menentukan kelangsungan proses belajar mengajar di kelas maupun efeknya di luar kelas. Guru harus pandai membawa siswanya kepada tujuan yang hendak dicapai.
Ada beberapa hal yang dapat membentuk kewibawaan guru antara lain adalah penguasaan materi yang diajarkan, metode mengajar yang sesuai dengan situasi dan kondisi siswa, hubungan antar individu, baik dengan siswa maupun antar sesama guru dan unsur lain yang terlibat dalam proses pendidikan seperti adminstrator, misalnya kepala sekolah dan tata usaha serta masyarakat sekitarnya, pengalaman dan keterampilan guru itu sendiri.
Dengan demikian, maka dalam pembaharuan pendidikan, keterlibatan guru mulai dari perencanaan inovasi pendidikan sampai dengan pelaksanaan dan evaluasinya memainkan peran yang sangat besar bagi keberhasilan suatu inovasi pendidikan. Tanpa melibatkan mereka, maka sangat mungkin mereka akan menolak inovasi yang diperkenalkan kepada mereka. Hal ini seperti diuraikan sebelumnya, karena mereka menganggap inovasi yang tidak melibatkan mereka adalah bukan miliknya yang harus dilaksanakan, tetapi sebaliknya mereka menganggap akan mengganggu ketenangan dan kelancaran tugas mereka. Oleh karena itu, dalam suatu inovasi pendidikan, gurulah yang utama dan pertama terlibat karena guru mempunyai peran yang luas sebagai pendidik, sebagai orang tua, sebagai teman, sebagai dokter, sebagi motivator dan lain sebagainya. (Wright 1987)
2. Siswa
Sebagai obyek utama dalam pendidikan terutama dalam proses belajar mengajar, siswa memegang peran yang sangat dominan. Dalam proses belajar mengajar, siswa dapat menentukan keberhasilan belajar melalui penggunaan intelegensia, daya motorik, pengalaman, kemauan dan komitmen yang timbul dalam diri mereka tanpa ada paksaan. Hal ini bisa terjadi apabila siswa juga dilibatkan dalam proses inovasi pendidikan, walaupun hanya dengan mengenalkan kepada mereka tujuan dari pada perubahan itu mulai dari perencanaan sampai dengan pelaksanaan, sehingga apa yang mereka lakukan merupakan tanggung jawab bersama yang harus dilaksanakan dengan konsekwen. Peran siswa dalam inovasi pendidikan tidak kalah pentingnya dengan peran unsur-unsur lainnya, karena siswa bisa sebagai penerima pelajaran, pemberi materi pelajaran pada sesama temannya, petunjuk, dan bahkan sebagai guru. Oleh karena itu, dalam memperkenalkan inovasi pendidikan sampai dengan penerapannya, siswa perlu diajak atau dilibatkan sehingga mereka tidak saja menerima dan melaksanakan inovasi tersebut, tetapi juga mengurangi resistensi seperti yang diuraikan sebelumnya.
3. Kurikulum
Kurikulum pendidikan, lebih sempit lagi kurikulum sekolah meliputi program pengajaran dan perangkatnya merupakan pedoman dalam pelaksanaan pendidikan dan pengajaran di sekolah. Oleh karena itu kurikulum sekolah dianggap sebagai bagian yang tidak dapat dipisahkan dalam proses belajar mengajar di sekolah, sehingga dalam pelaksanaan inovasi pendidikan, kurikulum memegang peranan yang sama dengan unsur-unsur lain dalam pendidikan. Tanpa adanya kurikulum dan tanpa mengikuti program-program yang ada di dalamya, maka inovasi pendidikan tidak akan berjalan sesuai dengan tujuan inovasi itu sendiri. Oleh
karena itu, dalam pembahruan pendidikan, perubahan itu hendaknya sesuai dengan perubahan kurikulum atau perubahan kurikulum diikuti dengan pembaharuan pendidikan dan tidak mustahil perubahan dari kedua-duanya akan berjalan searah.
4. Fasilitas
Fasilitas, termasuk sarana dan prasarana pendidikan, tidak bisa diabaikan dalam dalam proses pendidikan khususnya dalam proses belajar mengajar. Dalam pembahruan pendidikan, tentu saja fasilitas merupakan hal yang ikut mempengaruhi kelangsungan inovasi yang akan diterapkan Tanpa adanya fasilitas, maka pelaksanaan inovasi pendidikan akan bisa dipastikan tidak akan berjalan dengan baik. Fasilitas, terutama fasilitas belajar mengajar merupakan hal yang esensial dalam mengadakan perubahan dan pembahruan pendidikan.Oleh karena itu, jika dalam menerapkan suatu inovasi pendidikan, fasilitas perlu
diperhatikan. Misalnya ketersediaan gedung sekolah, bangku, meja dan sebagainya.
5. Lingkup Sosial Masyarakat.
Dalam menerapakan inovasi pendidikan, ada hal yang tidak secara langsung terlibat dalam perubahan tersebut tapi bisa membawa dampak, baik positif maupun negatif, dalam pelaklsanaan pembahruan pendidikan. Masyarakat secara tidak langsung atau tidak langsung, sengaja maupun tidak, terlibat dalam pendidikan. Sebab, apa yang ingin dilakukan dalam pendidikan sebenarnya mengubah masyarakat menjadi lebih baik terutama masyarakat di mana peserta didik itu berasal. Tanpa melibatkan masyarakat sekitarnya, inovasi pendidikan tentu akan terganggu, bahkan bisa merusak apabila mereka tidak diberitahu atau
dilibatkan. Keterlibatan masyarakat dalam inovasi pendidikan sebaliknya akan membantu inovator dan pelaksana inovasi dalam melaksanakan inovasi pendidikan.
c. Sistem Pendidikan (pengelolaan dan pengawasan)
Dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah diatur dengan aturan yang dibuat oleh pemerintah. Penanggung jawab sistem pendidikan di Indonesia adalah Departemen Pendidikan Nasional yang mengatur seluruh sistem berdasarkan ketentuan-ketentuan yang diberlakukan.
Dalam kaitan dengan adanya berbagai macam aturan dari pemerintah tersebut maka timbul permasalahan sejauh mana batas kewenangan guru untuk mengambil kebijakan dalam melakukan tugasnya dalam rangka menyesuaikan dengan kondisi dan situasi setempat. Demikian pula sejauh mana kesempatan yang diberikan kepada guru untuk meningkatkan kemampuan profesioanlnya guna menghadapi tantangan kemajuan zaman. Dampak dari keterbatasan kesempatan meningkatkan kemampuan profesional serta keterbatasan kewenangan mengambil kebijakan dalam melaksanakan tugas bagi guru, dapat menyebabkan timbulnya siklus otoritas yang negatif. Siklus otoritas yang negatif bagi guru yang dikemukakan oleh Florio (1973) yang dikutip oleh Zaltman (1977) adalah guru memiliki keterbatasan kewenangan dan kemampuan profesional, menyebabkan tidak mampu untuk mengambil kebijakan dalam melaksanakan tugasnya untuk menghadapi tantangan kemajuan zaman. Rasa ketidakmampuan menimbulkan frustasi dan bersikap apatis terhadap tugas-tugas yang ikut terlibat (komitmen) dalam pelaksanaan tugas. Dampak dari sikap apatis, kurang semangat berpartisipasi dan kurang rasa tanggung jawab dalam pelaksanaan tugas, menyebabkan tampak dari luar sebagai guru yang kurang mampu atau tidak profesional. Dengan adanya tanda-tanda bahwa guru kurang mampu melaksanakan tugas maka mengurangi kepercayaan atasan terhadap guru. Dengan adanya rasa kurang percaya menyebabkan timbulnya kecurigaan atau tidak memperoleh kejelasan tentang tanggung jawab penggunaan wewenang serta kemampuan profesional yang dimiliki guru, maka dibatasi pemberian wewenang dan kesempatan mengembangkan kemampuannya.
6. Kesimpulan
Inovasi pendidikan sebagai usaha perubahan pendidikan tidak bisa berdiri sendiri, tapi harus melibatakan semua unsur yang terkait di dalamnya, seperti inovator, penyelenggara inovasi seperti guru dan siswa. Disamping itu, keberhasilan inovasi pendidikan tidak saja ditentukan oleh satu atau dua faktor saja, tapi juga oleh masyarakat serta kelengkapan fasilitas.
Inovasi pendidikan yang berupa top-down model tidak selamanya bisa berhasil dengan baik. Hal ini disebabkan oleh banyak hal antara lain adalah penolakan para pelaksana seperti guru yang tidak dilibatkan secara penuh baik dalam perencananaan maupun pelaksanaannya. Sementara itu inovasi yang lebih berupa bottom-up model dianggap sebagai suatu inovasi yang langgeng dan tidak mudah berhenti karena para pelaksana dan pencipta sama-sama terlibat mulai dari perencanaan sampai pada pelaksanaan. Oleh karena itu mereka masing-masing bertanggung jawab terhadap keberhasilan suatu inovasi yang mereka ciptakan.
————————————————————
Daftar Pustaka :
Cece Wijaya, Djaja Jajuri, A. Tabrani Rusyam (1991) Upaya Pembaharuan dalam Bidang Pendidikan dan Pengajaran.Penerbit PT. Remaja Rosdakarya- Bandung 1991.
Day, C.P. Whitaker, and D. Wren (1987) Appraisal and Professional Development in the Primary Schools, Philadelphia : Open University Press.
Kennedy, C. (1987) Innovation for Change: teacher development and innovation. ELT Journal 41/3
Kouraogo, P. (1987) Curriculum Renewal and INSET in Difficult circumstance. ELT Journal 41/3
Subandijah (1992) Pengembangan dan Inovasi Kurikulum. PT Raja Grafindo
Persada-Yogyakarta
White, R.V. (1988) The ELT Curriculum: Design, Innovation and
Management. Oxford: Blackwell.


Tidak ada komentar: